Saya punya sebuah ilustrasi tentang persepsi yang keliru tentang matematika. Suatu ketika dalam pertemuan, rasanya sulit -atau bahkan tidak mungkin- ada salah satu dari anggota pertemuan itu yang berani dengan bangga mengatakan “saya buta huruf”, tentu ini pengakuan yang konyol dan akan membuat malu besar (meski saya yakin tidak ada peserta pertemuan lainnya yang menertawakan). Sangat berbeda, jika salah seorang yang sukses dalam pertemuan itu mengatakan, “saya tidak bisa pelajaran matematika saat sekolah”, peserta akan memaklumi dan itu menjadi hal biasa. Ya...., orang lebih berani mengakui ketidakbisaannya soal matematika, ini terjadi karena kita seringnya berpikir bahwa matematika sebagai bakat yang dibawa sejak lahir, seolah-olah kemampuan matematika merupakan gen bawaan, hanya keberuntungan saja yang menjadikan kita, apakah mewarisi atau tidak, sehingga ketidakmahiran pada pelajaran matematika tidak dianggap sebagai sebuah aib.
Ilustrasi diatas seolah memberikan justifikasi bahwa kemampuan belajar matematika adalah sesuatu yang tidak bisa dipelajari, tidak bisa dibiasakan dan tidak bisa diupayakan. Hal tersebut seolah pula memberikan kesimpulan bahwa seorang guru matematika tak perlu bekerja keras membuat peserta didik mahir belajar matematika atau bahkan menyukai matematika. Apa artinya semua upaya guru tersebut, jika kemampuan belajar matematika lebih pada faktor genetic ketimbang kemampuan yang bisa diasah melalui proses pembelajaran. TENTUNYA TIDAK DEMIKIAN KAN ??
Kehadiran guru matematika di kelas matematika sangat membantu untuk menanggulangi pemikiran yang seperti ini.
Dalam mengajar di kelas matematika kita seringnya membuat sebuah pemetaan tentang kemampuan peserta didik pada pelajaran matematika. Yaitu: peserta didik yang lambat, rata-rata, dan yang jagoan matematika. Memang harus diakui matematika lebih mudah hanya untuk beberapa peserta didik di kelas daripada yang lainnya. Ini tugas seorang guru agar kita meningkatkan metode mengajar matematika yang kita gunakan sehingga setiap peserta didik dapat mengembangkan kemampuan matematikanya. Bagi peserta didik, seringnya matematika tampak menjadi momok yang besar. Ada suatu anggapan dalam diri peserta didik, apabila ia pintar belajar matematika, maka merasa mereka pintar dalam segala hal. Dalam arti bahwa , matematika bisa menjadi alat yang ampuh untuk mempromosikan keadilan social. Meskipun sebenarnya secara potensi, setiap peserta didik dapat belajar matematika dengan baik.
Lantas seorang guru matematika harus bagaimana?
Guru matematika seringnya gagal menerapkan cara yang benar pada pembelajaran matematika. Kenyamanan –hanya- mengadopsi rumus (terima jadi), menjadikan seorang guru cenderung malas mengajarkan kepada peserta didik tentang fakta-fakta yang membentuk rumus tersebut. Sebut saja, ketika seorang guru mengajarkan rumus luas segitiga = ½ x a x t, guru seringnya malas menjelaskan fakta, karena segitiga adalah separuh dari segi empat, sehingga luas segitiga = ½ p x l (p=alas pada segitiga dan l=tinggi pada segitiga). Ketika peserta didik –hanya-menghafal rumus jadi tersebut , maka ia terjatuh pada model penghafalan saja, yang sifatnya bisa sangat sementara. Peserta didik yang harus berjuang dalam matematika biasanya memiliki kesulitan mengingat rumus-rumus matematika, penanganan masalah kalimat matematika dan melakukan multi-langkah aritmatika. Ini terjadi karena pembiasaan guru matematika yang hanya mengajarkan rumus terima jadi, tanpa memberi pencerahan tentang fakta-fakta/cara ‘lahirnya’ rumus tersebut. Riset menunjukkan bahwa peserta didik yang diberi masalah untuk memecahkan sendiri - sebelum instruksi dari guru - mengungguli siswa yang diberi pembelajaran ‘terima jadi’. Seorang guru harus berupaya menjauh dari belajar model hafalan untuk mencoba memberi pemahaman kepada peserta didik agar memahami matematika lebih mendalam, dan bukan rumus saja.
Tidak ada salahnya seorang guru mencoba pembelajaran "berdasarkan penemuan" atau "berbasis masalah". Pancing peserta didik untuk menemukan masalah, menyelesaikannya, sebelum seorang guru mengajarkan rumus matematika. Sebagai contoh, bilangan bulat positif dan negatif, yang membingungkan banyak peserta didik. Mengingat pertanyaan yang tampaknya sederhana seperti, "berapakah -10 + 5?", banyak akan berakhir menebak. Salah satu cara untuk memecahnya, seorang guru bisa berkata: "Bayangkan kamu sedang bermain kelereng, kamu kehilangan sepuluh kelereng dan memperoleh lima kelereng”. Bentuk kelas yang rileks, santai (tapi serius), dan menyenangkan, karena ini akan efektif membawa peserta didik enjoy dan tidak ‘takut’.
Jika seorang guru melakukan pendekatan ini dalam mengajar, hampir bisa dijamin bahwa setiap peserta didik akan mengalami kesuksesan. Pada gilirannya, kecemasan matematika peserta didik berkurang. Ketika mereka tumbuh lebih percaya diri, mereka tumbuh bersemangat, dan mereka mulai meminta tantangan sulit.
So, guru memiliki peran penting dalam membawa peserta didik untuk belajar menyukai matematika.
Salam
EmoticonEmoticon